1. Memilih siapa yang berani dan sanggup menjadi ketua dan sekaligus sebagai tuan rumah untuk menghentikan 3 H (Hakayau=Saling mengayau, Hopunu’=saling membunuh, dan Hatetek=Saling memotong kepala musuhnya).
2. Merencanakan di mana tempat perdamaian itu.
3. Kapan pelaksanaan perdamaian itu.
4. Berapa lama sidang damai itu bisa dilaksanakan.
5. Residen Banjar menawarkan siapa yang bersedia menjadi tuan rumah dan menanggung beaya pertemuan. Damang Batu’ menyanggupi. Karena semua yang hadir juga tahu bahwa Damang Batu’ memiliki wawasan yang luas tentang adat-istiadat yang ada di Kalimantan pada waktu itu, maka akhirnya semua yang hadir setuju dan ini disyahkan oleh Residen Banjar.
Lalu disepakati bahwa:
1. Pertemuan damai akan dilaksanakan di Lewu’ (kampung) Tumbang Anoi, yaitu di Betang tempat tinggalnya Damang Batu’.
2. Diberikan waktu 6 bulan bagi Damang Batu’ untuk mempersiapkan acara.
3. Pertemuan itu akan berlangsung selama tiga bulan lamanya.
4. Undangan disampaikan melalui tokoh/kepala suku masing-masing daerah secara lisan sejak bubarnya rapat di Tumbang Kapuas.
5. Utusan yang akan menghadiri pertemuan damai itu haruslah tokoh atau kepala suku yang betul-betul menguasai adat-istiadat di daerahnya masing-masing.
6. Pertemuan Damai itu akan di mulai tepat pada tanggal 1 Januari 1894 dan akan berakhir pada tanggal 30 Maret 1894.
Pertemuan Damai dari 1 Januari 1894 hingga 30 Maret 1894, di Rumah Betang Damang Batu’ di Tumbang Anoi. Dalam pertemuan Damai itu, dengan keputusan:
1. Menghentikan permusuhan antar sub-suku Dayak yang lazim di sebut 3H (Hakayou =saling mengayau, Hapunu’ = saling membunuh, dan Hatetek = saling memotong kepala) di Kalimantan (Borneo pada waktu itu).
2. Menghentikan sistem Jipen’ (hamba atau budak belian) dan membebaskan para Jipen dari segala keterikatannya dari Tempu (majikannya) sebagai layaknya kehidupan anggota masyarakat lainnya yang bebas.
3. Menggantikan wujud Jipen yang dari manusia dengan barang yang bisa di nilai seperti baanga’ (tempayan mahal atau tajau), halamaung, lalang, tanah / kebun atau lainnya.
4. Menyeragamkan dan memberlakukan Hukum Adat yang bersifat umum, seperti : bagi yang membunuh orang lain maka ia harus membayar Sahiring (sanksi adat) sesuai ketentuan yang berlaku. pada yang digunakan lawan*nya manu*sia.
5. Memutuskan agar setiap orang yang membunuh suku lain, ia harus membayar Sahiring sesuai dengan putusan sidang adat yang diketuai oleh Damang Batu’. Semuanya itu harus di bayar langsung pada waktu itu juga, oleh pihak yang bersalah.
Ngayau kerap diidentikan dengan pembunuhan yang sadis, kejam dan tidak berperikemanusiaan. Namun dibalik anggapan itu ada semangat heroik dari Suku Dayak. Apakah sebenarnya ngayau tersebut?
Bagi orang Dayak, ngayau adalah adat. Ritual yang dilakukan secara khusus. Tidak bisa sebarang orang mengayau. Ada aturan mengikat yang harus diikuti. Pengayauan sesungguhnya adalah hukuman teramat berat bagi pemenang.
Mengayau artinya mencari musuh, mencari kepala musuh. Menurut bahasa Dayak Iban, kayau artinya musuh. Menurut DR. Fridolin Ukur da*lam buku “Tantang Jawab Suku Dayak”, mengayau artinya men*cari, memotong kepala manusia.
Menurut Alfred Russel Wallage dalam “The Malay Archipelago, 1896, head hunting is “a custom originating in the petty wars of village with village and tribe with tribe”.
Edi Petebang dalam bukunya ‘Dayak Sakti’ menyebutkan, mengayau identik dengan Dayak. Namun tidak semua subsuku Dayak mengayau. Orang Dayak Jelai di sepanjang aliran sungai Jelai dan Jelai kiri; orang Dayak Pesaguan di sepanjang sungai Pesaguan, ketiganya di Kabupaten Ketapang, tidak mempunyai tradisi mengayau
“Mengayau tak sekedar perbuatan sadis, kejam dan kanibal. Lebih dari itu, ngayau menunjukkan sikap heroik seorang Dayak. Sikap patriotisme dalam menghadapi orang yang cukup membahayakan,” kata Edi Petebang, peneliti Institute Dayakologi di Pontianak, kemarin.
Dalam tradisi orang Dayak Lamandau dan Delang di Kalimantan Tengah, mengayau dari kata “kayau” atau “kayo’; yang artinya mencari. Mengayau arti*nya men*cari kepala; ngayau adalah orang yang menca*ri kepala. “Ada ngayau”, artinya ada orang yang mencari kepala (memenggal).
Mengayau adalah ritual yang sarat dengan tradisi lisan. Pemahamannya hanya bisa dimengerti dalam ruang kepercayaan, tradisi lisan itu sendiri. Adat pengayauan itu sendiri sesuatu yang misteri, kaya makna kekuatan supra-natural.
“Sangat langka tulisan tentang mengayau. Bahkan belum ada satu buku khusus yang membahas tentang pengayauan,” ungkap alumnus FISIP Universitas Tanjungpura ini.
Perjanjian Tumbang Anoi (Kalteng) pada 1894 yang menghentikan adat pengayauan turut membantu tidak banyaknya sumber tertulis tersebut. Pertemuan itu diprakarsai oleh pemerintah Belanda.
Pertemuan pertama dan terbesar dalam sejarah orang Dayak tersebut diikuti hampir seluruh kepala suku, panglima perang, tetua adat dari semua subsuku Dayak di Kalimantan. Mereka berikrar untuk tidak saling mengayau lagi.
Menurut Edi, perjanjian Tumbang Anoi tidak otomatis menghilangkan pengayauan. “Sejumlah tetua, kepala suku, panglima Dayak mengaku hingga 1930-an masih ditemukan tradisi mengayau masih dilakukan oleh beberapa subsuku Dayak,” ungkapnya.
Ia memperkira*kan sekitar 1930-an tersebut orang Dayak Punan dan Dayak Iban (Kapuas Hulu, Indonesia dan Sarawak, Malaysia); Dayak Laman*dau (Kalteng); serta beberapa subsuku Dayak lain*nya, masih mengayau.
Adat mengayau sudah dilakukan masyarakat Dayak sejak ribuan tahun yang lalu. Hal ini bisa di lihat pada cerita Nek Baruang Kulub dari masyarakat Bukit atau hikayat Lawe’ dalam masyarakat Kayaan.
Sedangkan pada masyarakat Uud Danum, kebiasaan mengayau itu sudah ada pada jaman KoLimoi (jaman yang kedua), yaitu ketika masyarakat Uud Danum masih berada di “langit”. Tetapi cerita yang lebih lugas tentang kebiasaan mengayau ini terdapat dalam legenda Tahtum (jaman ketiga) dalam sejarah hidup masyarakat Uud Danum.
Ada yang memandang negatif mengayau. Namun tidak demikian sebenarnya jika mengetahui secara mendalam tentang pengayauan. Menghi***lang*kan nyawa orang apapun alasannya tidak bisa dibenar*kan tentu saja. Orang yang tidak memahami adat pengayauan memandang adat itu negatif.
Pandangan ini berkembang keluar komunitas Dayak, terutama ke negara-negara Barat akibat publikasi para penulis, peneliti tentang Dayak yang tidak memahami adat pengayauan secara utuh.
Pandangan negatif bahwa orang Dayak itu buas, kanibal, ternyata tidak benar. Dan itu dibantah para peneliti Barat lainnya. Menurut para peneliti seperti H.P.A. Bakker dalam bukunya “Het Rijk Sanggau” (Kerajaan Sanggau, 1884); M.C. Shadde (1910) Niewenhuis (1894) dan J.J.K. Enthoven (1903). Hanya orang Dayak Jangkang (Sang*gau) berbeda dari suku-suku lain di Sanggau.
“Mereka pengayau yang sangat fanatik dan juga kani*bal. Bagi mereka kepala tidak cukup. Mereka juga membawa seluruh badan (kalau bisa), ambil segala daging, dimasukkan ke dalam bambu atau dimakan langsung. Terutama pipi, jantung dan otak adalah makan*an yang disukai, walaupun hanya yang berpe*rang boleh makan itu. Oleh karena itu suku ini ditakuti dan dihindari oleh suku lain. Tahun-tahun terakhir hal-hal semacam ini tidak terjadi lagi,” tulis Bakker.
Orang Dayak bukanlah kanibal, bukan pembunuh berdarah dingin. Pengayauan dilakukan sportif, mempunyai aturan tertentu, tidak boleh sebarang membunuh orang. “Buktinya, setelah para peneliti Barat itu bertemu langsung dengan orang Da*yak, ternyata menurut mereka orang Dayak itu jujur, suka menerima dan menghargai tamu, lemah lembut, dan sebagainya,” jelas Edi.
Mengayau tidak boleh di sembarang tempat. Harus ada pemberitahuan dan tempatnya ditentukan. Apabila orang mengayau di sembarang tempat, maka dia dianggap bukan pengayau yang baik. Adapun yang berangkat mengayau ini adalah lelaki semua, tua dan muda. Maka tidak mengherankan para peneliti berpen*dapat, bahwa sekitar tahun 1900-an populasi orang anak-anak dan perempuan lebih banyak. Mengapa? Karena banyak kaum lelaki tua dan muda mati mengayau ataupun dikayau.