isi perjanjian tumbang anoi

Pertemuan Kuala Kapuas, 14 Juni 1893 membahas:
1. Memilih siapa yang berani dan sanggup menjadi ketua dan sekaligus sebagai tuan rumah untuk menghentikan 3 H (Hakayau=Saling mengayau, Hopunu’=saling membunuh, dan Hatetek=Saling memotong kepala musuhnya).
2. Merencanakan di mana tempat perdamaian itu.
3. Kapan pelaksanaan perdamaian itu.
4. Berapa lama sidang damai itu bisa dilaksanakan.
5. Residen Banjar menawarkan siapa yang bersedia menjadi tuan rumah dan menanggung beaya pertemuan. Damang Batu’ menyanggupi. Karena semua yang hadir juga tahu bahwa Damang Batu’ memiliki wawasan yang luas tentang adat-istiadat yang ada di Kalimantan pada waktu itu, maka akhirnya semua yang hadir setuju dan ini disyahkan oleh Residen Banjar.

Lalu disepakati bahwa:

1. Pertemuan damai akan dilaksanakan di Lewu’ (kampung) Tumbang Anoi, yaitu di Betang tempat tinggalnya Damang Batu’.
2. Diberikan waktu 6 bulan bagi Damang Batu’ untuk mempersiapkan acara.
3. Pertemuan itu akan berlangsung selama tiga bulan lamanya.
4. Undangan disampaikan melalui tokoh/kepala suku masing-masing daerah secara lisan sejak bubarnya rapat di Tumbang Kapuas.
5. Utusan yang akan menghadiri pertemuan damai itu haruslah tokoh atau kepala suku yang betul-betul menguasai adat-istiadat di daerahnya masing-masing.
6. Pertemuan Damai itu akan di mulai tepat pada tanggal 1 Januari 1894 dan akan berakhir pada tanggal 30 Maret 1894.

Pertemuan Damai dari 1 Januari 1894 hingga 30 Maret 1894, di Rumah Betang Damang Batu’ di Tumbang Anoi. Dalam pertemuan Damai itu, dengan keputusan:

1. Menghentikan permusuhan antar sub-suku Dayak yang lazim di sebut 3H (Hakayou =saling mengayau, Hapunu’ = saling membunuh, dan Hatetek = saling memotong kepala) di Kalimantan (Borneo pada waktu itu).
2. Menghentikan sistem Jipen’ (hamba atau budak belian) dan membebaskan para Jipen dari segala keterikatannya dari Tempu (majikannya) sebagai layaknya kehidupan anggota masyarakat lainnya yang bebas.
3. Menggantikan wujud Jipen yang dari manusia dengan barang yang bisa di nilai seperti baanga’ (tempayan mahal atau tajau), halamaung, lalang, tanah / kebun atau lainnya.
4. Menyeragamkan dan memberlakukan Hukum Adat yang bersifat umum, seperti : bagi yang membunuh orang lain maka ia harus membayar Sahiring (sanksi adat) sesuai ketentuan yang berlaku. pada yang digunakan lawan*nya manu*sia.
5. Memutuskan agar setiap orang yang membunuh suku lain, ia harus membayar Sahiring sesuai dengan putusan sidang adat yang diketuai oleh Damang Batu’. Semuanya itu harus di bayar langsung pada waktu itu juga, oleh pihak yang bersalah.
7. Menata dan memberlakukan adat istiadat secara khusus di masing-masing daerah, sesuai dengan kebiasaan dan tatanan kehidupan yang di anggap baik.

Mengayau

Ngayau kerap diidentikan dengan pembunuhan yang sadis, kejam dan tidak berperikemanusiaan. Namun dibalik anggapan itu ada semangat heroik dari Suku Dayak. Apakah sebenarnya ngayau tersebut?

Bagi orang Dayak, ngayau adalah adat. Ritual yang dilakukan secara khusus. Tidak bisa sebarang orang mengayau. Ada aturan mengikat yang harus diikuti. Pengayauan sesungguhnya adalah hukuman teramat berat bagi pemenang.

Mengayau artinya mencari musuh, mencari kepala musuh. Menurut bahasa Dayak Iban, kayau artinya musuh. Menurut DR. Fridolin Ukur da*lam buku “Tantang Jawab Suku Dayak”, mengayau artinya men*cari, memotong kepala manusia.

Menurut Alfred Russel Wallage dalam “The Malay Archipelago, 1896, head hunting is “a custom originating in the petty wars of village with village and tribe with tribe”.

Edi Petebang dalam bukunya ‘Dayak Sakti’ menyebutkan, mengayau identik dengan Dayak. Namun tidak semua subsuku Dayak mengayau. Orang Dayak Jelai di sepanjang aliran sungai Jelai dan Jelai kiri; orang Dayak Pesaguan di sepanjang sungai Pesaguan, ketiganya di Kabupaten Ketapang, tidak mempunyai tradisi mengayau

“Mengayau tak sekedar perbuatan sadis, kejam dan kanibal. Lebih dari itu, ngayau menunjukkan sikap heroik seorang Dayak. Sikap patriotisme dalam menghadapi orang yang cukup membahayakan,” kata Edi Petebang, peneliti Institute Dayakologi di Pontianak, kemarin.

Dalam tradisi orang Dayak Lamandau dan Delang di Kalimantan Tengah, mengayau dari kata “kayau” atau “kayo’; yang artinya mencari. Mengayau arti*nya men*cari kepala; ngayau adalah orang yang menca*ri kepala. “Ada ngayau”, artinya ada orang yang mencari kepala (memenggal).

Mengayau adalah ritual yang sarat dengan tradisi lisan. Pemahamannya hanya bisa dimengerti dalam ruang kepercayaan, tradisi lisan itu sendiri. Adat pengayauan itu sendiri sesuatu yang misteri, kaya makna kekuatan supra-natural.

“Sangat langka tulisan tentang mengayau. Bahkan belum ada satu buku khusus yang membahas tentang pengayauan,” ungkap alumnus FISIP Universitas Tanjungpura ini.

Perjanjian Tumbang Anoi (Kalteng) pada 1894 yang menghentikan adat pengayauan turut membantu tidak banyaknya sumber tertulis tersebut. Pertemuan itu diprakarsai oleh pemerintah Belanda.

Pertemuan pertama dan terbesar dalam sejarah orang Dayak tersebut diikuti hampir seluruh kepala suku, panglima perang, tetua adat dari semua subsuku Dayak di Kalimantan. Mereka berikrar untuk tidak saling mengayau lagi.

Menurut Edi, perjanjian Tumbang Anoi tidak otomatis menghilangkan pengayauan. “Sejumlah tetua, kepala suku, panglima Dayak mengaku hingga 1930-an masih ditemukan tradisi mengayau masih dilakukan oleh beberapa subsuku Dayak,” ungkapnya.

Ia memperkira*kan sekitar 1930-an tersebut orang Dayak Punan dan Dayak Iban (Kapuas Hulu, Indonesia dan Sarawak, Malaysia); Dayak Laman*dau (Kalteng); serta beberapa subsuku Dayak lain*nya, masih mengayau.

Adat mengayau sudah dilakukan masyarakat Dayak sejak ribuan tahun yang lalu. Hal ini bisa di lihat pada cerita Nek Baruang Kulub dari masyarakat Bukit atau hikayat Lawe’ dalam masyarakat Kayaan.

Sedangkan pada masyarakat Uud Danum, kebiasaan mengayau itu sudah ada pada jaman KoLimoi (jaman yang kedua), yaitu ketika masyarakat Uud Danum masih berada di “langit”. Tetapi cerita yang lebih lugas tentang kebiasaan mengayau ini terdapat dalam legenda Tahtum (jaman ketiga) dalam sejarah hidup masyarakat Uud Danum.

Ada yang memandang negatif mengayau. Namun tidak demikian sebenarnya jika mengetahui secara mendalam tentang pengayauan. Menghi***lang*kan nyawa orang apapun alasannya tidak bisa dibenar*kan tentu saja. Orang yang tidak memahami adat pengayauan memandang adat itu negatif.

Pandangan ini berkembang keluar komunitas Dayak, terutama ke negara-negara Barat akibat publikasi para penulis, peneliti tentang Dayak yang tidak memahami adat pengayauan secara utuh.

Pandangan negatif bahwa orang Dayak itu buas, kanibal, ternyata tidak benar. Dan itu dibantah para peneliti Barat lainnya. Menurut para peneliti seperti H.P.A. Bakker dalam bukunya “Het Rijk Sanggau” (Kerajaan Sanggau, 1884); M.C. Shadde (1910) Niewenhuis (1894) dan J.J.K. Enthoven (1903). Hanya orang Dayak Jangkang (Sang*gau) berbeda dari suku-suku lain di Sanggau.

“Mereka pengayau yang sangat fanatik dan juga kani*bal. Bagi mereka kepala tidak cukup. Mereka juga membawa seluruh badan (kalau bisa), ambil segala daging, dimasukkan ke dalam bambu atau dimakan langsung. Terutama pipi, jantung dan otak adalah makan*an yang disukai, walaupun hanya yang berpe*rang boleh makan itu. Oleh karena itu suku ini ditakuti dan dihindari oleh suku lain. Tahun-tahun terakhir hal-hal semacam ini tidak terjadi lagi,” tulis Bakker.

Orang Dayak bukanlah kanibal, bukan pembunuh berdarah dingin. Pengayauan dilakukan sportif, mempunyai aturan tertentu, tidak boleh sebarang membunuh orang. “Buktinya, setelah para peneliti Barat itu bertemu langsung dengan orang Da*yak, ternyata menurut mereka orang Dayak itu jujur, suka menerima dan menghargai tamu, lemah lembut, dan sebagainya,” jelas Edi.
Mengayau tidak boleh di sembarang tempat. Harus ada pemberitahuan dan tempatnya ditentukan. Apabila orang mengayau di sembarang tempat, maka dia dianggap bukan pengayau yang baik. Adapun yang berangkat mengayau ini adalah lelaki semua, tua dan muda. Maka tidak mengherankan para peneliti berpen*dapat, bahwa sekitar tahun 1900-an populasi orang anak-anak dan perempuan lebih banyak. Mengapa? Karena banyak kaum lelaki tua dan muda mati mengayau ataupun dikayau.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Setelah mengambil alih Kalimantan dari tangan Jepang, NICA mendesak kaum Federal Kalimantan untuk segera mendirikan Negara Kalimantan menyusul Negara Indonesia Timur yang telah berdiri. Maka dibentuklah Dewan Kalimantan Barat tanggal 28 Oktober 1946, yang menjadi Daerah Istimewa Kalimantan Barat pada tanggal 27 Mei 1947; dengan Kepala Daerah, Sultan Hamid II dari Kesultanan Pontianak dengan pangkat Mayor Jenderal. Wilayahnya terdiri atas 13 kerajaan sebagai swapraja.
Pangeran Muhammad Noor

Dewan Dayak Besar dibentuk tanggal 7 Desember 1946, dan selanjutnya tanggal 8 Januari 1947 dibentuk Dewan Pagatan, Dewan Pulau Laut dan Dewan Cantung Sampanahan yang bergabung menjadi Federasi Kalimantan Tenggara. Kemudian tanggal 18 Februari 1947 dibentuk Dewan Pasir dan Federasi Kalimantan Timur, yang akhirnya pada tanggal 26 Agustus 1947 bergabung menjadi Dewan Kalimantan Timur. Selanjutnya Daerah Kalimantan Timur menjadi Daerah Istimewa Kalimantan Timur dengan Kepala Daerah, Aji Sultan Parikesit dari Kesultanan Kutai dengan pangkat Kolonel. Daerah Banjar yang sudah terjepit daerah federal akhirnya dibentuk Dewan Banjar tanggal 14 Januari 1948.

Gubernur Kalimantan dalam pemerintahan Pemerintah RI di Yogyakarta, yaitu Pangeran Muhammad Noor, mengirim Cilik Riwut dan Hasan Basry dalam misi perjuangan mempertahankan kemerdekaan untuk menghadapi kekuatan NICA. Pada tanggal 17 Mei 1949, Letkol Hasan Basry selaku Gubernur Tentara ALRI Wilayah IV Pertahanan Kalimantan memproklamirkan sebuah Proklamasi Kalimantan yang isinya bahwa "Daerah Kalimantan Selatan" (daerah-daerah di luar Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan Daerah Istimewa Kalimantan Timur) tetap sebagai bagian tak terpisahkan dari Negara Republik Indonesia yang telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Pemerintah Gubernur Militer ini merupakan upaya tandingan terhadap terbentuknya Dewan Banjar yang didirikan Belanda.

Di masa Republik Indonesia Serikat, Kalimantan menjadi beberapa daerah yaitu :

1. Daerah Istimewa Kalimantan Barat
2. Daerah Istimewa Kalimantan Timur
3. Dayak Besar
4. Daerah Banjar
5. Federasi Kalimantan Tenggara

Sejak tahun 1938, Borneo-Hindia Belanda (Kalimantan) merupakan satu kesatuan daerah administratif di bawah seorang gubernur, yang berkedudukan di Banjarmasin, dan memiliki wakil di Volksrad. Wakil Kalimantan di Volksrad :

1. Pangeran Muhammad Ali (sebelum 1935) digantikan anaknya,
2. Pangeran Muhammad Noor (1935-1939) digantikan oleh,
3. Mr. Tadjuddin Noor (1939-1945)

* Gubernur Borneo

1. Dr. A. Haga (1938-1942), gubernur dari Kegubernuran Borneo berkedudukan di Banjarmasin
2. Pangeran Musa Ardi Kesuma (1942-1945), Ridzie Kalimantan Selatan dan Tengah
3. Ir. Pangeran Muhammad Noor (2 September 1945), gubernur Kalimantan berkedudukan di Yogyakarta
4. dr. Moerjani (14 Agustus 1950), gubernur Kalimantan berkedudukan di Banjarmasin
5. Mas Subarjo (1953-1955), gubernur Kalimantan berkedudukan di Banjarmasin
6. Raden Tumenggung Arya Milono (1955-1957), gubernur Kalimantan berkedudukan di Banjarmasin.

Pembentukan kembali provinsi Kalimantan tanggal 14 Agustus 1950 sesudah bubarnya RIS, diperingati sebagai Hari Jadi Provinsi Kalimantan Selatan (dahulu bernama provinsi Kalimantan, salah satu provinsi pertama). Tahun 1957 Kalimantan dibagi menjadi 3 provinsi, yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat. Selanjutnya tahun 1958, terbentuklah propinsi Kalimantan.

Wilayah Barito, Kapuas dan Kotawaringin sangat kaya akan sumber daya alam (SDA). Namun sayang selama tergabun dengan Kalimantan Selatan, tak menikmati hasil kekayaan itu. Dalam kondisi memprihatinkan ini, muncul keinginan tokoh Dayak untuk memiliki provinsi sendiri yang terpisah dari Kalsel. ELLEN D, Palangka Raya
KEINGINAN terbentuknya provinsi sendiri ini menghasilkan Serikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI) tanggal 20 Juli 1950 di Desa Tangkahen. Sahari Andung merupakan ketuanya. Dalam kongres SKDI di Desa Bahu Palawa tanggal 15 – 22 Juli 1953, muncul keinginan masyarakat Dayak agar diberikan daerah otonom lepas dari Kalsel. Kongres tersebut mengeluarkan mosi Nomor 1/Kong/1953 tanggal 22 Juli 1953 yang isinya mendesak pemerintah pusat membentuk Provinsi Kalteng sebelum Pemilu 1955 dengan wilayah meliputi Kabupaten Barito, Kapuas dan Kotawaringin. Namun, mosi itu tak ditanggapi oleh Mendagri masa itu.
Desember 1955 di Jakarta, Kongres Rakyat Seluruh Indonesia (KRSI) dilaksanakan. Ini merupakan kesempatan masyarakat Dayak menegakkan kembali tuntutannya. Tetapi, sekali lagi, tuntutan tersebut belum dapat dipenuhi pemerintah pusat. Kongres tersebut hanya menyetujui pemekaran Provinsi Kalimantan menjadi tiga, yaitu Kalbar, Kalsel dan Kaltim. Wilayah Kalteng (Barito, Kapuas dan Kotawaringin) berada di bawah Kalsel.
Alasan pemerintah pusat saat itu, Kalteng belum mampu membiayai urusan rumah tangga daerah sebagai daerah otonom dan keadaan keuangan negara masih belum mengizinkan membentuk provinsi baru. Sumber daya manusia (SDM) di wilayah ini terutama tenaga terampil dan terdidik untuk tugas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan juga dinyatakan masih kurang.
“Masyarakat Dayak Kalteng sangat menyesalkan pidato radio Mendagri (masa itu, Red) yang menyatakan belum saatnya dibentuk Provinsi Kalteng karena penduduknya baru mencapai sekitar 500 ribu jiwa. Dikatakan pula suku Dayak belum menjadi suatu komunitas yang memiliki ketetapan hidup/masyarakat yang mapan dan belum ada kaum intelektualnya. Sebenarnya alasan itu sangat lemah dan dicari-cari,” demikian sekilas isi buku sejarah perjuangan pembentukan Provinsi Kalteng yang ditulis Drs F Sion Ibat dan Chornain Lambung SmHk ini.
Meskipun tuntutan tak dipenuhi, semangat isen mulang (pantang mundur) untuk mencapai provinsi otonom tetap tertanam di hati masyarakat Dayak saat itu. Di satu sisi, tokoh Dayak menggelar konser rakyat Kalteng yang dipelopori Mahir Mahar. Di sisi lain, para pemuda di bawah pimpinan Christian Simbar alias Uria Mapas bergelar Mandulin tengah berjuang mengangkat senjata melalui Gerakan Mandau Talawang Pancasila (GMTPS). Anggota GMTPS bertekad berjuang sampai titik darah penghabisan. Karena itu, GMTPS disinyalir oleh pihak keamanan sebagai gerakan yang membuat keamanan tak stabil.
Momentum ini digunakan kongres mendesak pemerintah pusat agar segera membentuk Provinsi Kalteng. Kongres Rakyat Kalteng kemudian digelar di Gedung Chung Hua Tsung Hui, Jalan P Samudera Banjarmasin tanggal 2 – 5 Desember 1956. Sementara kongres berlangsung, pasukan GMTPS melakukan perjuangan bersenjata di daerah pedalaman. Sejak arena kongres, Sahari Andung sudah menduga akan ada penangkapan. Dugaan itu betul karena sekembalinya dari kongres, Sahari Andung, Willy Djimat dan Robert Bana ditangkap di tempat masing-masing oleh pihak keamanan dan dijebloskan ke penjara Teluk Dalam, Banjarmasin selama tiga bulan.
“Tanggal 19 Oktober 1953, markas induk GMTPS di Desa Bundar diserang aparat Kepolisian Buntok sehingga menimbulkan korban warga sipil, yaitu Tina (murid sekolah rakyat/SR) yang mati/meninggal di tempat. Getuk dan Nyurek (masyarakat) mengalami luka serius. Akibat serangan polisi, 86 anggota GMTPS dipimpin Christian Simbar melakukan serangan balik terhadap markas Kepolisian Buntok pada 22 November 1953. Pertempuran itu membawa banyak korban baik dari aparat keamanan, pegawai negeri, masyarakat sipil maupun GMTPS. Markas polisi dikepung dari dua jurusan sehingga tak ada jalan keluar dan banyak dari mereka yang jadi korban,” tulis kedua penulis pada halaman 22.
Pemilu 1955 menghentikan kegiatan fisik GMTPS karena tak ingin dikatakan sebagai pihak yang membuat kekacauan. Pasca pemilu, kontak senjata kembali terjadi. Antara lain di Pujon pada November 1955, kontak senjata di Desa Madara dengan TNI, Desa Butong, Desa Hayaping dan Desa Lahei. Dalam bentrok fisik tentara dan GMTPS di Hayaping pada 15 Desember 1955, Rusine Tate yang istri Christian Simbar menjadikan dirinya umpan untuk ditangkap Batalyon 605 sehingga pasukan GMTPS dapat menghindar dan menyelamatkan diri.

Kegiatan fisik GMTPS semakin meningkat pada 1956 karena belum ada tanda-tanda keseriusan pemerintah membentuk Provinsi Kalteng. Kontak senjata dengan aparat keamanan sering terjadi. Akhirnya, berdasarkan Surat Keputusan Mendagri tanggal SK Nomor U/34/41/24 tanggal 28 Desember 1956, kantor persiapan Provinsi Kalteng mulai dibentuk terhitung 1 Januari 1957. Pemerintah pusat melalui siaran radio juga meminta agar kontak senjata dihentikan.
Pantia Penyelesaian Korban Kekacauan Daerah (PPKKD) Kalteng yang diketuai Mahir Mahar dibentuk. Tugasnya, melakukan pembicaraan dengan GMTPS. Tanggal 1 Maret 1957, terjadilah perundingan di Desa Madara, Buntok. Perundingan menghasilkan beberapa keputusan penting, antara lain pembentukan Provinsi Kalteng dengan wilayah meliputi Kabupaten Barito, Kapuas dan Kotawaringin dapat disetujui pemerintah. Tidak ada tuntutan/proses hukum atas semua korban, baik dari pihak GMTPS maupun pihak aparat keamanan dan penyaluran anggota GMTPS yang berminat menjadi tentara, polisi atau pegawai negeri. Kemudian, bantuan modal bagi anggota GMTPS yang ingin berusaha sesuai keahliannya dan penyerahan senjata GMTPS kepada pemerintah melalui upacara adat. Perundingan dalam perkembangannya berakhir dengan pembentukan Provinsi Kalteng pada 23 Mei 1957 dengan Tjilik Riwut sebagai gubernur pertamanya.
“Kalteng adalah satu-satunya provinsi yang dibentuk dengan UU Darurat. Pembentukannya merupakan titik temu antara tuntutan masyarakat Dayak baik melalui perundingan maupun gerakan bersenjata GMTPS dengan keseriusan pemerintah dalam menyikapi tuntuta tersebut. Selanjutnya, setiap tanggal 23 Mei diperingati sebagai hari jadi Provinsi Kalteng,” tulis Sion Ibat dan Chornain Lambung. (habis) ==> Dari situs koran lokal "Kalteng Pos Online"

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Etimologi Borneo

Etimologi

* Pertama Borneo dari kata Kesultanan Brunei Darussalam yang sebelumnya merupakan kerajaan besar dan luas (mencakup Serawak dan sebagian Sabah karena sebagian Sabah ini milik kesultanan Sulu-Mindanao. Para pedagang Portugis menyebutnya Borneo dan digunakan oleh orang-orang Eropa. Namun penduduk asli menyebutnya sebagai pulo Klemantan.

* Kedua menurut Crowfurd dalam Descriptive Dictionary of the Indian Island (1856), kata Kalimantan adalah nama sejenis mangga sehingga pulau Kalimantan adalah pulau mangga namun dia menambahkan bahwa kata itu berbau dongeng dan tidak populer.

* Ketiga menurut Dr. B. Ch. Chhabra dalam jurnal M.B.R.A.S vol XV part 3 hlm 79 menyebutkan kebiasaan bangsa India kuno menyebutkan nama tempat sesuai hasil bumi seperti jewawut dalam bahasa sanksekerta yawa sehingga pulau itu disebut yawadwipa yang dikenal sebagai pulau Jawa sehingga berdasarkan analogi itu pulau itu yang dengan nama Sansekerta Amra-dwipa atau pulau mangga.

* Keempat menurut dari C.Hose dan Mac Dougall menyebutkan bahwa kata Kalimantan berasal dari 6 golongan suku-suku setempat yakni Dayak Laut (Iban), Kayan, Kenya, Klemantan, Munut, dan Punan. Dalam karangannya, Natural Man, a Record from Borneo (1926), C Hose menjelaskan bahwa Klemantan adalah nama baru yang digunakan oleh bangsa Melayu.

* Kelima menurut W.H Treacher dalam British Borneo dalam jurnal M.B.R.A.S (1889), mangga liar tidak dikenal di Kalimantan utara. Lagi pula Borneo tidak pernah dikenal sebagai pulau yang menghasilkan mangga malah mungkin sekali dari sebutan Sago Island (pulau Sagu) karena kata Lamantah adalah nama asli sagu mentah.

* Keenam menurut Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya Sriwijaya (LKIS 2006), kata Kalimantan bukan kata melayu asli tapi kata pinjaman sebagai halnya kata malaya, melayu yang berasal dari India (malaya yang berarti gunung). Kalimantan atau Klemantan berasal dari Sanksekerta, Kalamanthana yaitu pulau yang udaranya sangat panas atau membakar (kal[a]: musim, waktu dan manthan[a]: membakar). Karena vokal a pada kala dan manthana menurut kebiasaan tidak diucapkan, maka Kalamanthana diucap Kalmantan yang kemudian disebut penduduk asli Klemantan atau Quallamontan yang akhirnya diturunkan menjadi Kalimantan

Nama lain

* "Waruna Pura"
* "Tanjungpura" (Bakulapura) artinya pulau yang banyak memiliki tanjung (bakula), nama kerajaan Tanjungpura yang sering dipakai sebagai nama pulaunya.
* "Tanjungnagara" adalah sebutan untuk pulau Borneo oleh Kerajaan Majapahit, sebagai salah satu daerah yang delapan taklukan Kerajaan Majapahit.
* "Hujung Tanah" atau "Ujung Tanah" adalah sebutan pulau Kalimantan dalam Hikayat Banjar dan Hikayat Raja-raja Pasai, nampaknya ini adalah nama yang dipakai oleh penduduk Sumatera dan sekitarnya untuk menyebut pulau Kalimantan.
* "Pulau Kencana" adalah sebutan pulau Kalimantan dalam Ramalan Prabu Jayabaya dari Majapahit mengenai akan dikuasai Tanah Jawa oleh bangsa Jepang yang datang dari arah pulau Kencana (Kalimantan).
* "Jaba Daje" artinya "Jawa di Utara (dari pulau Madura) sebutan suku Madura terhadap pulau Kalimantan.

Masa Republik Indonesia Serikat

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sejarah Borneo dan Isi Perjanjian Tumbang Anoi


Sejarah Pulau Borneo (Kalimantan)

Pulau Borneo (Kalimantan) merupakan pulau ketiga terbesar di dunia setelah Pulau Greenland dan Pulau Papua. Luas keseluruhan Pulau Borneo adalah 736.000 KM 2. Pulau Borneo terdapat juga lintasan pegunungan di sebelah timur laut dengan gunung tertinggi adalah Gunung Kinabalu dengan puncak setinggi 4.175 M. Pulau ini beriklim tropis basah dengan suhu rata-rata 24-25 derajat celcius dan dilewati oleh garis khatulistiwa.

Diketahui bahwa bangsa asing sudah berhubungan dengan penduduk di Pulau Borneo ini sejak sekitar abad ke-1 M.

Berdasarkan peninggalan-peninggalan artefak sejarah yang sempat ditemukan, bahwa artefak yang paling tua yang ditemukan di Pulau Borneo ini adalah artefak dari Kerajaan Kutai yaitu dari masa abad ke-4 M yang beraliran hindu, terletak di pesisir timur dari pulau ini. Bahkan berdasarkan temuan artefak sejarah ini, bahwa artefak Kerajaan Kutai adalah temuan artefak yang tertua di Nusantara ini.

Pada abad ke-8 M Kerajaan Sriwijaya pernah berpengaruh di sepanjang pesisir barat Pulau Borneo ini dan pada abad ke-14 M Kerajaan Majapahit berpengaruh hampir di seluruh Pulau ini.

Pada awal abad ke-16 M orang-orang eropa mulai berdatangan di Pulau Borneo ini.

Berdasarkan catatan orang eropa disebutkan bahwa orang eropa pertama yang mendatangi Pulau Borneo ini adalah orang Italia yang bernama Ludovico de Verthana yaitu pada tahun 1507 M yang kemudian dilanjutkan dengan orang Portugis yang bernama Laurenco de Gomez pada tahun 1518 M terus disusul oleh orang Spanyol yang bernama Ferdinand Magellen pada tahun 1519 yaitu dalam perjalanan mengelilingi dunia, baru kemudian disusul dengan Belanda, Inggris dan Prancis. Dari orang-orang Eropa inilah kemudian nama Borneo di kenal sejak abad ke-15 M. Nama Borneo itu berasal dari nama pohon Borneol {bahasa Latin: Dryobalanops camphora)yang mengandung (C10H17.OH) terpetin, bahan untuk antiseptik atau dipergunakan untuk minyak wangi dan kamper, kayu kamper yang banyak tumbuh di Kalimantan,[1][2] kemudian oleh para pedagang dari Eropa disebut pulau Borneo atau pulau penghasil borneol,dari sebutan orang-orang eropa itu terhadap nama Kerajaan Brunei,karena saat itu Kerajaan Brunei merupakan Kerajaan yang paling dominan / terbesar di pulau ini sehingga setiap orang asing yang datang di Pulau ini, akan mengunjungi Kerajaan Brunei [3] sehingga kemudian nama Brunei menjadi ikon bagi pulau ini yang kemudian dipelatkan oleh lidah orang eropa menjadi Borneo yang kemudian terus dipakai hingga ke masa pendudukan kolonial Belanda yaitu “ Pulau Borneo “.

Pada tanggal 7 Juli 1607 Ekspedisi Belanda dipimpin Koopman Gillis Michaelszoon tiba di Banjarmasin, tetapi seluruh ABK dibunuh penduduk sebagai pembalasan atas perampasan oleh VOC terhadap dua jung Banjar yang berlabuh di Banten tanun 1595. Pada tahun 1612 di masa Sultan Mustain Billah, Belanda datang ke Banjarmasin untuk menghukum Kesultanan Banjarmasin atas insiden 1607 dan menembak hancur Banjar Lama (kampung Keraton) di Kuin, sehingga ibukota kerajaan Banjar dipindahkan dari Banjarmasin ke Martapura.

Berdasarkan dokumen yang ada bahwa perjanjian tertulis pertama antara orang eropa dengan penduduk Pulau Borneo di lakukan pada tahun 1609 M yaitu perjanjian perdagangan antara perusahaan dagang Belanda yaitu VOC dengan Raja Panembahan Sambas yaitu Ratu Sapudak walaupun kemudian bahwa hubungan perdagangan antara kedua belah pihak ini tidak berkembang.

Perjanjian kesepakatan VOC yang kedua dengan Kerajaan di Pulau Borneo ini adalah dengan Kesultanan Banjarmasin yang ditandatangani pada tahun 4 September 1635 di masa Sultan Inayatullah. Isi kontrak itu, antara lain, bahwa selain mengenai pembelian lada dan tentang bea cukai, VOC juga akan membantu kesultanan Banjar untuk menghadapi serangan dari luar. Aktivitas VOC kemudian lebih berkembang di sebelah timur dibandingkan dengan sebelah barat Pulau Borneo yaitu karena sebelah timur Pulau Borneo berhampiran dengan pusat lada dunia yaitu Kepulauan Maluku.

Pada masa kedatangan orang-orang eropa ini yang dimulai pada awal abad ke-16 M itu hingga kemudian masa kolonialisme mereka sampai abad ke-20 M, Kerajaan-Kerajaan yang terkemuka di Pulau Borneo ini disamping Kesultanan Brunei yaitu Kesultanan Banjarmasin, Kesultanan Sukadana, kesultanan Sambas dan Kesultanan Pontianak.

Sehubungan dengan serangan Napoleon ke Belanda pada paruh ke-3 abad ke-18 M kemudian membuat seluruh kekuatan VOC di Nusantara ini termasuk di Borneo di tarik kembali ke Belanda dan posisi Belanda di Nusantara ini kemudian digantikan oleh Inggris.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Candi Sambisari

21 Tahun Merangkai "Puzzle" Candi Sambisari

Tak ada perasaan aneh yang menghinggapi Karyowinangun pada sebuah pagi di tahun 1966. Tapi sebuah kejadian langka dialaminya di sawah kala itu, ketika sedang mengayunkan cangkulnya ke tanah. Cangkul yang diayunkan ke tanah membentur sebuah batu besar yang setelah dilihat memiliki pahatan pada permukaannya. Karyowinangun dan warga sekitar pun merasa heran dengan keberadaan bongkahan batu itu.

Dinas kepurbakalaan yang mengetahui adanya temuan itu pun segera datang dan selanjutnya menetapkan areal sawah Karyowinangun sebagai suaka purbakala. Batu berpahat yang ditemukan itu diduga merupakan bagian dari candi yang mungkin terkubur di bawah areal sawah. Penggalian akhirnya dilakukan hingga menemukan ratusan bongkahan batu lain beserta arca-arca kuno. Dan benar, batu-batu itu memang merupakan komponen sebuah candi.

Selang 21 tahun sesudahnya, keindahan candi akhirnya bisa dinikmati. Bangunan candi yang dinamai Sambisari itu berdiri megah di Dusun Sambisari, Kelurahan Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Sleman, 10 kilometer dari pusat kota Yogyakarta. Anda bisa menjangkau dengan berkendara melewati lintas jalan Yogya-Solo hingga menemukan papan penunjuk menuju candi ini. Selanjutnya, anda tinggal berbelok ke kiri mengikuti alur jalan.

YogYES sempat kaget ketika sampai di areal candi. Saat mengarahkan pandangan ke tengah areal candi, hanya tampak susunan batu atap yang seolah hanya bertinggi beberapa meter di atas tanah. YogYES bertanya-tanya, apa benar Candi Sambisari hanya sekecil itu? Setelah mendekat, barulah kami mendapat jawabannya. Ternyata, Candi Sambisari berada 6,5 meter lebih rendah dari wilayah sekitarnya.

Candi Sambisari diperkirakan dibangun antara tahun 812 - 838 M, kemungkinan pada masa pemerintahan Rakai Garung. Kompleks candi terdiri dari 1 buah candi induk dan 3 buah candi pendamping. Terdapat 2 pagar yang mengelilingi kompleks candi, satu pagar telah dipugar sempurna, sementara satu pagar lainnya hanya ditampakkan sedikit di sebelah timur candi. Masih sebagai pembatas, terdapat 8 buah lingga patok yang tersebar di setiap arah mata angin.

Bangunan candi induk cukup unik karena tidak mempunyai alas seperti candi di Jawa lainnya. Kaki candi sekaligus berfungsi sebagai alas sehingga sejajar dengan tanah. Bagian kaki candi dibiarkan polos, tanpa relief atau hiasan apapun. Beragam hiasan yang umumnya berupa simbar baru dijumpai pada bagian tubuh hingga puncak candi bagian luar. Hiasan itu sekilas seperti motif-motif batik.

Menaiki tangga pintu masuk candi induk, anda bisa menjumpai hiasan berupa seekor singa yang berada dalam mulut makara (hewan ajaib dalam mitologi Hindu) yang menganga. Figur makara di Sambisari dan merupakan evolusi dari bentuk makara di India yang bisa berupa perpaduan gajah dengan ikan atau buaya dengan ekor yang membengkok.

Selasar selebar 1 meter akan dijumpai setelah melewati anak tangga terakhir pintu masuk candi induk. Mengelilinginya, anda akan menjumpai 3 relung yang masing-masing berisi sebuah arca. Di sisi utara, terdapat arca Dewi Durga (isteri Dewa Siwa) dengan 8 tangan yang masing-masing menggenggam senjata. Sementara di sisi timur terdapat Arca Ganesha (anak Dewi Durga). Di sisi selatan, terdapat arca Agastya dengan aksamala (tasbih) yang dikalungkan di lehernya.

Memasuki bilik utama candi induk, bisa dilihat lingga dan yoni berukuran cukup besar, kira-kira 1,5 meter. Keberadaannya menunjukkan bahwa candi ini dibangun sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa. Lingga dan yoni di bilik candi induk ini juga dipakai untuk membuat air suci. Biasanya, air diguyurkan pada lingga dan dibiarkan mengalir melewati parit kecil pada yoni, kemudian ditampung dalam sebuah wadah.

Keluar dari candi induk dan menuju ke barat, anda bisa melihat ketiga candi perwara (pendamping) yang menghadap ke arah berlawanan. Ada dugaan bahwa candi perwara ini sengaja dibangun tanpa atap sebab ketika penggalian tak ditemukan batu-batu bagian atap. Bagian dalam candi perwara tengah memiliki lapik bujur sangkar yang berhias naga dan padmasana (bunga teratai) berbentuk bulat cembung di atasnya. Kemungkinan, padmasana dan lapik dipakai sebagai tempat arca atau sesajen.

Bila telah puas menikmati keindahan candi, anda bisa menuju ke ruang informasi. Beberapa foto yang menggambarkan lingkungan sawah Karyowinangun sebelum digali dan kondisi awal candi ketika ditemukan bisa ditemui. Ada pula foto-foto tentang proses penggalian dan rekonstruksi candi yang berjalan puluhan tahun, termasuk foto benda-benda lain yang ditemukan selama penggalian, berupa arca dari perunggu yang kini disimpan di Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.

Keindahan Candi Sambisari yang kini bisa kita nikmati merupakan hasil kerja keras para arkeolog selama 21 tahun. Candi yang semula mirip puzzle raksasa, sepotong demi sepotong disusun kembali demi lestarinya satu lagi warisan kebudayaan agung di masa silam.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Candi Sambisari

21 Tahun Merangkai "Puzzle" Candi Sambisari

Tak ada perasaan aneh yang menghinggapi Karyowinangun pada sebuah pagi di tahun 1966. Tapi sebuah kejadian langka dialaminya di sawah kala itu, ketika sedang mengayunkan cangkulnya ke tanah. Cangkul yang diayunkan ke tanah membentur sebuah batu besar yang setelah dilihat memiliki pahatan pada permukaannya. Karyowinangun dan warga sekitar pun merasa heran dengan keberadaan bongkahan batu itu.

Dinas kepurbakalaan yang mengetahui adanya temuan itu pun segera datang dan selanjutnya menetapkan areal sawah Karyowinangun sebagai suaka purbakala. Batu berpahat yang ditemukan itu diduga merupakan bagian dari candi yang mungkin terkubur di bawah areal sawah. Penggalian akhirnya dilakukan hingga menemukan ratusan bongkahan batu lain beserta arca-arca kuno. Dan benar, batu-batu itu memang merupakan komponen sebuah candi.

Selang 21 tahun sesudahnya, keindahan candi akhirnya bisa dinikmati. Bangunan candi yang dinamai Sambisari itu berdiri megah di Dusun Sambisari, Kelurahan Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Sleman, 10 kilometer dari pusat kota Yogyakarta. Anda bisa menjangkau dengan berkendara melewati lintas jalan Yogya-Solo hingga menemukan papan penunjuk menuju candi ini. Selanjutnya, anda tinggal berbelok ke kiri mengikuti alur jalan.

YogYES sempat kaget ketika sampai di areal candi. Saat mengarahkan pandangan ke tengah areal candi, hanya tampak susunan batu atap yang seolah hanya bertinggi beberapa meter di atas tanah. YogYES bertanya-tanya, apa benar Candi Sambisari hanya sekecil itu? Setelah mendekat, barulah kami mendapat jawabannya. Ternyata, Candi Sambisari berada 6,5 meter lebih rendah dari wilayah sekitarnya.

Candi Sambisari diperkirakan dibangun antara tahun 812 - 838 M, kemungkinan pada masa pemerintahan Rakai Garung. Kompleks candi terdiri dari 1 buah candi induk dan 3 buah candi pendamping. Terdapat 2 pagar yang mengelilingi kompleks candi, satu pagar telah dipugar sempurna, sementara satu pagar lainnya hanya ditampakkan sedikit di sebelah timur candi. Masih sebagai pembatas, terdapat 8 buah lingga patok yang tersebar di setiap arah mata angin.

Bangunan candi induk cukup unik karena tidak mempunyai alas seperti candi di Jawa lainnya. Kaki candi sekaligus berfungsi sebagai alas sehingga sejajar dengan tanah. Bagian kaki candi dibiarkan polos, tanpa relief atau hiasan apapun. Beragam hiasan yang umumnya berupa simbar baru dijumpai pada bagian tubuh hingga puncak candi bagian luar. Hiasan itu sekilas seperti motif-motif batik.

Menaiki tangga pintu masuk candi induk, anda bisa menjumpai hiasan berupa seekor singa yang berada dalam mulut makara (hewan ajaib dalam mitologi Hindu) yang menganga. Figur makara di Sambisari dan merupakan evolusi dari bentuk makara di India yang bisa berupa perpaduan gajah dengan ikan atau buaya dengan ekor yang membengkok.

Selasar selebar 1 meter akan dijumpai setelah melewati anak tangga terakhir pintu masuk candi induk. Mengelilinginya, anda akan menjumpai 3 relung yang masing-masing berisi sebuah arca. Di sisi utara, terdapat arca Dewi Durga (isteri Dewa Siwa) dengan 8 tangan yang masing-masing menggenggam senjata. Sementara di sisi timur terdapat Arca Ganesha (anak Dewi Durga). Di sisi selatan, terdapat arca Agastya dengan aksamala (tasbih) yang dikalungkan di lehernya.

Memasuki bilik utama candi induk, bisa dilihat lingga dan yoni berukuran cukup besar, kira-kira 1,5 meter. Keberadaannya menunjukkan bahwa candi ini dibangun sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa. Lingga dan yoni di bilik candi induk ini juga dipakai untuk membuat air suci. Biasanya, air diguyurkan pada lingga dan dibiarkan mengalir melewati parit kecil pada yoni, kemudian ditampung dalam sebuah wadah.

Keluar dari candi induk dan menuju ke barat, anda bisa melihat ketiga candi perwara (pendamping) yang menghadap ke arah berlawanan. Ada dugaan bahwa candi perwara ini sengaja dibangun tanpa atap sebab ketika penggalian tak ditemukan batu-batu bagian atap. Bagian dalam candi perwara tengah memiliki lapik bujur sangkar yang berhias naga dan padmasana (bunga teratai) berbentuk bulat cembung di atasnya. Kemungkinan, padmasana dan lapik dipakai sebagai tempat arca atau sesajen.

Bila telah puas menikmati keindahan candi, anda bisa menuju ke ruang informasi. Beberapa foto yang menggambarkan lingkungan sawah Karyowinangun sebelum digali dan kondisi awal candi ketika ditemukan bisa ditemui. Ada pula foto-foto tentang proses penggalian dan rekonstruksi candi yang berjalan puluhan tahun, termasuk foto benda-benda lain yang ditemukan selama penggalian, berupa arca dari perunggu yang kini disimpan di Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.

Keindahan Candi Sambisari yang kini bisa kita nikmati merupakan hasil kerja keras para arkeolog selama 21 tahun. Candi yang semula mirip puzzle raksasa, sepotong demi sepotong disusun kembali demi lestarinya satu lagi warisan kebudayaan agung di masa silam.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Daerah sekeliling Borobudur itu sekarang ada yang bernama Tanjung (Tanjungsari), Karang, Bumisegoro, Sabrangrowo, dan sebagainya. Secara toponimi (asal-usul nama daerah), jelas mengindikasi adanya telaga/rawa di sekitar itu.

teratai

Adalah van Bemmelen, diilhami oleh penelitiannya di wilayah Bandung tahun 1933,
berhipotesis bahwa Telaga Borobudur terjadi akibat bendungan piroklastika Merapi menyumbat aliran Kali Progo di kaki timurlaut Perbukitan Menoreh. Itu terjadi sebelum Borobodur didirikan tahun 830-850. Dan adalah van Bemmelen juga yang berhipotesis (bisa dibaca di bukunya : the Geology of Indonesia) yang menyebutkan bahwa piroklastika Merapi pada letusan besar tahun 1006 telah menutupi danau Borobudur menjadi kering dan sekaligus menutupi candi ini – lenyap dari sejarah, sampai ditemukan kembali oleh tim van Erp pada tahun 1907-1911. Kalau melihat gambar peta dan penampang geologi volkano-tektonik Gunung Merapi (van Bemmelen, 1949), akan tahulah kita bahwa ”nasib” Borobudur sepanjang sejarahnya telah banyak ditentukan oleh merosot-runtuhnya dinding baratdaya Merapi.

Hasil kajian geologi yang dilakukan Ir Helmy Murwanto MSc, Ir Sutarto MT dan Dr Sutanto dari Geologi UPN ‘Veteran’ serta Prof Sutikno dari Geografi UGM membuktikan, keberadaan danau di kawasan Candi Borobudur memang benar adanya. Penelitian itu dilakukan sejak 1996 dan masih berlanjut sampai sekarang. Bahkan, tahun 2005, penelitian tentang keberadaan danau purba itu oleh Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Jawa Tengah, CV Cipta Karya dan Studio Audio Visual Puskat, dibuat film dokumenter ilmiah dengan judul ‘Borobudur Teratai di Tengah Danau’.

Yang diteliti adalah endapan lempung hitam yang ada di dasar sungai sekitar Candi Borobudur yaitu Sungai Sileng, Sungai Progo dan Sungai Elo. Setelah mengambil sampel lempung hitam dan melakukan analisa laboratorium, ternyata lempung hitam banyak mengandung serbuk sari dari tanaman komunitas rawa atau danau. Antara lain Commelina, Cyperaceae, Nymphaea stellata, Hydrocharis. “Istilah populernya tanaman teratai, rumput air dan paku-pakuan yang mengendap di danau saat itu,” katanya.

Penelitian itu terus berlanjut. Selain lempung hitam, fosil kayu juga
dianalisa dengan radio karbon C14. Dari analisa itu diketahui endapan
lempung hitam bagian atas berumur 660 tahun. Tahun 2001, Helmy melakukan pengeboran lempung hitam pada kedalaman 40 meter. Setelah dianalisis dengan radio karbon C14 diketahui lempung hitam itu berumur 22 ribu tahun. “Jadi kesimpulannya, danau itu sudah ada sejak 22 ribu tahun lalu, jauh sebelum Candi Borobudur dibangun, kemudian berakhir di akhir abad ke XIII,” katanya.

Kenapa berakhir, kata Helmy, karena lingkungan danau merupakan muara dari beberapa sungai yang berasal dari gunung api aktif, seperti Sungai Pabelan dari Gunung Merapi, Sungai Elo dari Gunung Merbabu, Sungai Progo dari Gunung Sumbing dan Sindoro. Sungai itu membawa endapan lahar yang lambat laun bermuara dan menimbun danau. Sehingga danau makin dangkal, makin sempit kemudian diikuti dengan endapan lahar Gunung Merapi pada abad XI. Lambat laun danau menjadi kering tertimbun endapan lahar dan berubah menjadi dataran Borobudur seperti sekarang.

Menurut Helmy, pada saat dilakukan pengeboran, endapan danaunya banyak
mengeluarkan gas dan air asin. “Tapi lambat laun tekanannya berkurang, dan sekarang kita pakai sebagai monumen saja,” katanya.

Ditargetkan, pada penelitian berikutnya akan diteliti luasan danau kaitannya dengan sejarah perkembangan lingkungan Borobudur dari waktu ke waktu, mulai air laut masuk sampai laut tertutup sehingga berkembang menjadi danau, kemudian danau menjadi rawa dan menjadi dataran.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Asal usul candi Borobudur

Asal-usul

Di Indonesia nama Śailendravamsa dijumpai pertama kali di dalam Prasasti Kalasan dari tahun 778 Masehi (Śailendragurubhis; Śailendrawańśatilakasya; Śailendrarajagurubhis). Kemudian nama itu ditemukan di dalam Prasasti Kelurak dari tahun 782 Masehi (Śailendrawańśatilakena), dalam Prasasti Abhayagiriwihara dari tahun 792 Masehi (dharmmatuńgadewasyaśailendra), Prasasti Sojomerto dari tahun 725 Masehi (selendranamah)dan Prasasti Kayumwuńan dari tahun 824 Masehi (śailendrawańśatilaka). Di luar Indonesia nama ini ditemukan dalam Prasasti Ligor dari tahun 775 Masehi dan Prasasti Nālanda.

Mengenai asal usul keluarga Śailendra banyak dipersoalkan oleh beberapa sarjana. Berbagai pendapat telah dikemukakan oleh sejarahwan dan arkeologis dari berbagai negara. Ada yang mengatakan bahawa keluarga Śailendra berasal dari India, dari Funan, dan penduduk asli dari Nusantara.

Teori India

Majumdar beranggapan bahwa keluarga Śailendra di Nusantara, baik di Śrīwijaya (Sumatera) maupun di Mdaŋ (Jawa) berasal dari Kalingga (India Selatan). Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Nilakanta Sastri dan Moens. Moens menganggap bahwa keluarga Śailendra berasal dari India yang menetap di Palembang sebelum kedatangan Dapunta Hiyaŋ. Pada tahun 683 Masehi, keluarga ini melarikan diri ke Jawa karena terdesak oleh Dapunta Hiyaŋ dengan bala tentaranya. Pada waktu itu Śrīwijaya pusatnya ada di Semenanjung Tanah Melayu.

Pernyataan yang hampir senada dengan Moens dikemukakan oleh Slametmulyana. Ia mengemukakan gagasannya itu didasarkan atas sebutan gelar dapunta pada Prasasti Sojomerto. Gelar ini ditemukan juga pada Prasasti Kedukan Bukit pada nama Dapunta Hiyaŋ. Prasasti Sojomerto dan Prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti yang berbahasa Melayu Kuno. Karena asal bahasa Melayu Kuno itu dari Sumatera dan adanya politik perluasan wilayah dari Kadātuan Śrīwijaya pada sekitar tahun 680-an Masehi, dapat diduga bahwa Dapunta Selendra adalah salah seorang pembesar dari Sumatera Selatan yang menyingkir ke pantai utara Jawa di sekitar Pekalongan.

[sunting] Teori Funan

Cœdès lebih condong kepada anggapan bahwa Śailendra yang ada di Nusantara itu berasal dari Funan (Kamboja). Karena terjadi kerusuhan yang mengakibatkan runtuhnya Kerajaan Funan, kemudian keluarga kerajaan ini menyingkir ke Jawa, dan muncul sebagai penguasa di Mdaŋ (Matarām) pada pertengahan abad ke-8 Masehi dengan menggunakan nama keluarga Śailendra.

[sunting] Teori Jawa

Pendapat bahwa keluarga Śailendra berasal dari Nusantara (Jawa) dikemukakan oleh Poerbatjaraka. Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya itu ialah raja-raja dari keluarga Śailendra, asli Nusantara yang menganut agama Śiva. Tetapi sejak Paņamkaran berpindah agama menjadi penganut Buddha Mahāyāna, raja-raja di Matarām menjadi penganut agama Buddha Mahāyāna juga. Pendapatnya itu didasarkan atas Carita Parahiyangan yang menyebutkan bahwa R. Sañjaya menyuruh anaknya R. Panaraban atau R. Tamperan untuk berpindah agama karena agama yang dianutnya ditakuti oleh semua orang.

Pendapat dari Poerbatjaraka yang didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian diperkuat dengan sebuah temuan prasasti di wilayah Kabupaten Batang. Di dalam prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Sojomerto itu disebutkan nama Dapunta Selendra, nama ayahnya (Santanū), nama ibunya (Bhadrawati), dan nama istrinya (Sampūla) (da pū nta selendra namah santanū nāma nda bapa nda bhadrawati nāma nda aya nda sampūla nāma nda ..). Menurut Boechari, tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah bakal raja-raja keturunan Śailendra yang berkuasa di Mdaŋ.

Nama “Dapunta Selendra” jelas merupakan ejaan Indonesia dari kata Sanskrit “Śailendra” karena di dalam prasasti digunakan bahasa Melayu Kuno. Jika demikian, kalau keluarga Śailendra berasal dari India Selatan tentunya mereka memakai bahasa Sanskrit di dalam prasasti-prasastinya. Dengan ditemukannya Prasasti Sojomerto telah diketahui asal keluarga Śailendra dengan pendirinya Dapunta Selendra. Berdasarkan paleografinya, Prasasti Sojomerto berasal dari sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi.

Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sañjaya mendirikan sebuah lingga di bukit Sthīrańga untuk tujuan dan keselamatan rakyatnya. Disebutkan pula bahwa Sañjaya memerintah Jawa menggantikan Sanna; Raja Sanna mempunyai saudara perempuan bernama Sanaha yang kemudian dikawininya dan melahirkan Sañjaya.

Dari Prasasti Sojomerto dan Prasasti Canggal telah diketahui nama tiga orang penguasa di Mdaŋ (Matarām), yaitu Dapunta Selendra, Sanna, dan Sañjaya. Raja Sañjaya mulai berkuasa di Mdaŋ pada tahun 717 Masehi. Dari Carita Parahiyangan dapat diketahui bahwa Sena (Raja Sanna) berkuasa selama 7 tahun. Kalau Sañjaya naik takhta pada tahun 717 Masehi, maka Sanna naik takhta sekitar tahun 710 Masehi. Hal ini bererti untuk sampai kepada Dapunta Selendra (pertengahan abad ke-7 Masehi) masih ada sisa sekitar 60 tahun. Kalau seorang penguasa memerintah lamanya kira-kira 25 tahun, maka setidak-tidaknya masih ada 2 penguasa lagi untuk sampai kepada Dapunta Selendra. Dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahawa Raja Mandimiñak mendapat putra Sang Sena (Sanna). Ia memegang pemerintahan selama 7 tahun, dan Mandimiñak diganti oleh Sang Sena yang memerintah 7 tahun. Dari urutan raja-raja yang memerintah itu, dapat diduga bahwa Mandimiñak mulai berkuasa sejak tahun 703 Masehi. Ini berarti masih ada 1 orang lagi yang berkuasa sebelum Mandimiñak.

Berita Tionghoa yang berasal dari masa Dinasti T'ang memberitakan tentang Kerajaan Ho-ling yang disebut She-po (=Jawa). Pada tahun 674 Masehi rakyat kerajaan itu menobatkan seorang wanita sebagai ratu, yaitu Hsi-mo (Ratu Sima). Ratu ini memerintah dengan baik. Mungkinkah ratu ini merupakan pewaris takhta dari Dapunta Selendra? Apabila ya, maka diperoleh urutan raja-raja yang memerintah di Mdaŋ, yaitu Dapunta Selendra (?- 674 Masehi), Ratu Sima (674-703 Masehi), Mandimiñak (703-710 Masehi), R. Sanna (710-717 Masehi), R. Sañjaya (717-746 Masehi), dan Rakai Paņamkaran (746-784 Masehi), dan seterusnya.

[sunting] Era Mataram Kuna

Prajñāpāramitā sebagai personifikasi Dewi Tara.

Kerajaan Mataram Kuna diperintah oleh dua wangsa yaitu Wangsa Syailendra yang beragama Buddha dan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Syiwa. Pada awal era Mataram Kuna, Wangsa Syailendra cukup dominan di Jawa Tengah. Menurut para ahli sejarah, Wangsa Sanjaya awalnya berada di bawah pengaruh kekuasaan Wangsa Syailendra. Mengenai persaingan kekuasaan tersebut tidak diketahui secara pasti, akan tetapi kedua-duanya sama-sama berkuasa di Jawa Tengah.

Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Syailendra tertera dalam prasasti Ligor, prasasti Nalanda maupun prasasti Klurak, sedangkan raja-raja dari keluarga Sanjaya tertera dalam prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih. Berdasarkan candi-candi, peninggalan kerajaan Mataram Kuna dari abad ke-8 dan ke-9 yang bercorak Buddha (Syailendra) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian selatan, sedangkan yang bercorak Hindu (Sanjaya) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian utara.

Wangsa Syailendra pada saat berkuasa, juga mengadakan hubungan yang erat dengan kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812), puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya. Prasasti yang ditemukan tidak jauh dari Candi Kalasan memberikan penjelasan bahwa candi tersebut dibangun untuk menghormati Tara sebagai Bodhisattva wanita. Pada tahun 790, Syailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahun.

Candi Borobudur selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Smaratungga (812-833). Borobudur merupakan monumen Buddha terbesar di dunia, dan kini menjadi salah satu kebanggaan bangsa Indonesia. Smaratungga memiliki puteri bernama Pramodhawardhani dan dari hasil pernikahannya dengan Dewi Tara, putera bernama Balaputradewa.

[sunting] Daftar raja-raja

Pendapat umum menyebutkan raja-raja Wangsa Sailendra adalah sebagai berikut,

  • Bhanu (752-775), raja pertama dan pendiri Wangsa Syailendra
  • Wisnu (775-782), Candi Borobudur mulai dibangun
  • Indra (782-812), menyerang dan mengalahkan Kerajaan Chenla (Kamboja), serta mendudukinya selama 12 tahun
  • Samaratungga (812-833), Candi Borobudur selesai dibangun
  • Pramodhawardhani (833-856), menikah dengan Rakai Pikatan, pangeran Wangsa Sanjaya
  • Balaputradewa (833-850), melarikan diri ke Sriwijaya setelah dikalahkan Rakai Pikatan

Akan tetapi, beberapa sejarawan tampaknya menolak urutan ini. Misalnya, Slamet Muljana berpendapat bahwa anggota Wangsa Sailendra pertama yang berhasil menjadi raja adalah Rakai Panangkaran. Sementara itu, Porbatjaraka berpendapat bahwa wangsa Sanjaya itu tidak pernah ada. Dengan kata lain, Sanjaya juga merupakan anggota Wangsa Sailendra.

[sunting] Runtuhnya Wangsa Syailendra

Pramodhawardhani, puteri raja Samaratungga menikah dengan Rakai Pikatan, yang waktu itu menjadi pangeran Wangsa Sanjaya. Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan menyerang Balaputradewa, yang merupakan saudara Pramodhawardhani. Sejarah Wangsa Syailendra berakhir pada tahun 850, yaitu ketika Balaputradewa melarikan diri ke Sriwijaya yang merupakan negeri asal ibunya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS